17+ Contoh Piagam Ucapan Terima Kasih
|Catatan Kamisan kali ini masih saya dedikasikan untuk membicarakan soal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan posisinya dalam sistem hukum nasional, terutama dari sudut pandang hukum tata negara, bidang ilmu yang masih terus saya tekuni dan pelajari.

Setelah dibicarakan minggu kemudian dengan judul “Fatwa MUI, Hukum Positif, dan Hukum Aspiratif”, tidak sedikit tanggapan yang bermunculan.
Dua Guru Besar Hukum Tata Negara Moh. Mahfud MD dan Yusril Ihza Mahendra ialah di antara dua profesor yang ikut menyerahkan sumbang pikir melalui tulisan dan komentarnya di media massa.
Pemikiran dua pakar hukum tata negara tersebut memperkaya apa yang sudah saya tuliskan, dan menjadi pilihan pendapat untuk sidang pembaca.
Pasti tidak seluruh pendapat kami sama—dan malah di situlah asyiknya. Perbedaan tersebut memang tidak hanya dibuat dalam beragama, tetapi pun berpendapat. Kalau seluruh pendapat berpengalaman hukum tersebut sama, maka ilmu hukum bakal mati, layu tak berkembang.

Sebagaimana andai Allah membuat semua agama tersebut sama, barangkali peradaban kemanusiaan pun akan hilang. Perbedaan dan keragaman warna memang sengaja diciptakan, malah untuk anda saling belajar, saling menghormati, saling tepo-seliro, saling bertoleransi.
Dalam konteks debat keilmuan hukum agama yang beragam, lawan dalam berdebat ialah kawan dalam berfikir, dan sobat dalam berzikir.
Salah satu persamaan kami berhubungan Fatwa MUI merupakan, bahwa ia bukanlah hukum positif (ius constitutum). Fatwa MUI jelas bukan hukum negara yang berlaku di distrik Indonesia.
Karena bukan hukum positif negara, maka pelaksanaannya tidak bisa dipaksakan sebagaimana hukum positif pada umumnya. Apalagi, bila teknik pemaksaan tersebut menggunakan cara hukum pidana laksana sweeping dan sejenisnya.

Terlebih sebab sanksi pidana—termasuk metodenya diterapkan (hukum acara atau hukum formilnya)—hanya barangkali dalam format Undang-Undang atau Peraturan Daerah, sebagaimana ditata dalam Pasal 15 UU Nomor 12 Tahun 2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Karena bukan hukum positif negara, maka Fatwa MUI tidak dapat dilakukan oleh aparatur negara, tergolong aparat kepolisian ataupun pemerintah pusat dan daerah. Justru, bilalau terdapat upaya guna memaksakan pengamalan Fatwa MUI oleh sekelompok orang ataupun organisasi masyarakat, aparatur negara mesti menangkal dan melarangnya.
Dalam konteks itu, telah tepat kepandaian dan pengakuan Presiden Jokowi yang memerintahkan untuk aparat polisi guna menindak tegas ormas yang melawan hukum. Karena memang sweeping menurut Fatwa MUI, lagipula jika meresahkan dan anarkis, justru ialah tindakan melawan hukum.
Bukan sebaliknya, sweeping justru dijaga aparat kepolisian. Bukan pula, Fatwa MUI malah menjadi dasar hukum untuk terbitnya surat edaran aparat kepolisian guna dilaksanakan, contohnya pada level Polres.

Sekali lagi, sebab bukan hukum positif negara, Fatwa MUI tidak berlaku sebagai dasar hukum yang mengikat penduduk negara, serta bukan dasar penegakan hukum untuk aparatur negara.
Di samping keserupaan pandang bahwa Fatwa MUI tersebut bukan hukum positif (ius constitutum), terdapat pula perbedaan pendapat salah satu kami. Agar jelas, saya berpandangan bahwa Fatwa MUI bukanlah hukum positif, namun ia memang bisa menjadi hukum yang diangankan, hukum aspiratif.
Sedangkan, di sisi lain, terdapat pendapat bahwa Fatwa MUI—sebagai unsur dari hukum Islam, bukanlah hukum positif namun bukan pula hukum yang diangankan (ius constituendum), tetapi ialah hukum yang hidup di tengah masyarakat (living law).
Pertama, izinkan saya menjelaskan mengapa saya memakai istilah hukum aspiratif sebagai terjemahan dari ius constituendum. Istilah hukum aspiratif ini memang tidak terdapat dalam literatur hukum.

Ini ialah istilah yang saya pilih dan ciptakan untuk memisahkan antara hukum yang diberlakukan negara (hukum positif, ius constitutum), dengan hukum yang belum diberlakukan negara, namun diangankan berlaku oleh sekelompok masyarakat atau golongan.
17+ Contoh Piagam Ucapan Terima Kasih – contoh piagam ucapan terima kasih
| Delightful to help our website, in this particular period I’ll provide you with concerning keyword. Now, this can be a initial photograph:

Why not consider picture above? is that will amazing???. if you believe so, I’l d teach you many picture yet again down below:
So, if you wish to have all these awesome graphics about (17+ Contoh Piagam Ucapan Terima Kasih), just click save link to download these photos for your laptop. They are available for save, if you like and want to own it, just click save symbol on the article, and it will be instantly saved in your pc.} Lastly if you’d like to have unique and the recent photo related with (17+ Contoh Piagam Ucapan Terima Kasih), please follow us on google plus or book mark the site, we try our best to offer you regular update with fresh and new photos. We do hope you enjoy staying here. For some up-dates and latest information about (17+ Contoh Piagam Ucapan Terima Kasih) shots, please kindly follow us on tweets, path, Instagram and google plus, or you mark this page on book mark section, We try to offer you update periodically with fresh and new pictures, like your searching, and find the ideal for you.
Thanks for visiting our site, contentabove (17+ Contoh Piagam Ucapan Terima Kasih) published . At this time we’re delighted to announce that we have found a veryinteresting topicto be pointed out, namely (17+ Contoh Piagam Ucapan Terima Kasih) Most people attempting to find specifics of(17+ Contoh Piagam Ucapan Terima Kasih) and of course one of them is you, is not it?
Catatan Kamisan kali ini masih saya dedikasikan untuk membicarakan soal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan posisinya dalam sistem hukum nasional, terutama dari sudut pandang hukum tata negara, bidang ilmu yang masih terus saya tekuni dan pelajari.

Setelah dibicarakan minggu kemudian dengan judul “Fatwa MUI, Hukum Positif, dan Hukum Aspiratif”, tidak sedikit tanggapan yang bermunculan.
Dua Guru Besar Hukum Tata Negara Moh. Mahfud MD dan Yusril Ihza Mahendra ialah di antara dua profesor yang ikut menyerahkan sumbang pikir melalui tulisan dan komentarnya di media massa.
Pemikiran dua pakar hukum tata negara tersebut memperkaya apa yang sudah saya tuliskan, dan menjadi pilihan pendapat untuk sidang pembaca.
Pasti tidak seluruh pendapat kami sama—dan malah di situlah asyiknya. Perbedaan tersebut memang tidak hanya dibuat dalam beragama, tetapi pun berpendapat. Kalau seluruh pendapat berpengalaman hukum tersebut sama, maka ilmu hukum bakal mati, layu tak berkembang.

Sebagaimana andai Allah membuat semua agama tersebut sama, barangkali peradaban kemanusiaan pun akan hilang. Perbedaan dan keragaman warna memang sengaja diciptakan, malah untuk anda saling belajar, saling menghormati, saling tepo-seliro, saling bertoleransi.
Dalam konteks debat keilmuan hukum agama yang beragam, lawan dalam berdebat ialah kawan dalam berfikir, dan sobat dalam berzikir.
Salah satu persamaan kami berhubungan Fatwa MUI merupakan, bahwa ia bukanlah hukum positif (ius constitutum). Fatwa MUI jelas bukan hukum negara yang berlaku di distrik Indonesia.
Karena bukan hukum positif negara, maka pelaksanaannya tidak bisa dipaksakan sebagaimana hukum positif pada umumnya. Apalagi, bila teknik pemaksaan tersebut menggunakan cara hukum pidana laksana sweeping dan sejenisnya.

Terlebih sebab sanksi pidana—termasuk metodenya diterapkan (hukum acara atau hukum formilnya)—hanya barangkali dalam format Undang-Undang atau Peraturan Daerah, sebagaimana ditata dalam Pasal 15 UU Nomor 12 Tahun 2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Karena bukan hukum positif negara, maka Fatwa MUI tidak dapat dilakukan oleh aparatur negara, tergolong aparat kepolisian ataupun pemerintah pusat dan daerah. Justru, bilalau terdapat upaya guna memaksakan pengamalan Fatwa MUI oleh sekelompok orang ataupun organisasi masyarakat, aparatur negara mesti menangkal dan melarangnya.
Dalam konteks itu, telah tepat kepandaian dan pengakuan Presiden Jokowi yang memerintahkan untuk aparat polisi guna menindak tegas ormas yang melawan hukum. Karena memang sweeping menurut Fatwa MUI, lagipula jika meresahkan dan anarkis, justru ialah tindakan melawan hukum.
Bukan sebaliknya, sweeping justru dijaga aparat kepolisian. Bukan pula, Fatwa MUI malah menjadi dasar hukum untuk terbitnya surat edaran aparat kepolisian guna dilaksanakan, contohnya pada level Polres.

Sekali lagi, sebab bukan hukum positif negara, Fatwa MUI tidak berlaku sebagai dasar hukum yang mengikat penduduk negara, serta bukan dasar penegakan hukum untuk aparatur negara.
Di samping keserupaan pandang bahwa Fatwa MUI tersebut bukan hukum positif (ius constitutum), terdapat pula perbedaan pendapat salah satu kami. Agar jelas, saya berpandangan bahwa Fatwa MUI bukanlah hukum positif, namun ia memang bisa menjadi hukum yang diangankan, hukum aspiratif.
Sedangkan, di sisi lain, terdapat pendapat bahwa Fatwa MUI—sebagai unsur dari hukum Islam, bukanlah hukum positif namun bukan pula hukum yang diangankan (ius constituendum), tetapi ialah hukum yang hidup di tengah masyarakat (living law).
Pertama, izinkan saya menjelaskan mengapa saya memakai istilah hukum aspiratif sebagai terjemahan dari ius constituendum. Istilah hukum aspiratif ini memang tidak terdapat dalam literatur hukum.

Ini ialah istilah yang saya pilih dan ciptakan untuk memisahkan antara hukum yang diberlakukan negara (hukum positif, ius constitutum), dengan hukum yang belum diberlakukan negara, namun diangankan berlaku oleh sekelompok masyarakat atau golongan.
- 20+ Cepat Sembuh Dalam Bahasa Korea
- 20+ Ucapan Ulang Tahun Untuk Yg Sudah Meninggal
- 20+ Ucapan Terimakasih Kepada Kepala Sekolah
- 0+ ucapan untuk rekan kerja yang pensiun
- 18+ Ungkapan Ucapan Milad Organisasi
- 18+ Ucapan Selamat Petang Bergambar
- 18+ Kata Kata Selamat Ulang Tahun Untuk Perusahaan
- 20+ Kata Kata 20 Hari Meninggal
- 18+ Sertifikat Ucapan Terima Kasih Sponsor
- 20+ Tertua Ulang Tahun Orang Yang Sudah Meninggal